Rencana
pemberian Amnesty dan grasi terhadap 25 tahanan politik (Tapol) dari
pemerintah Indonesia melalui Kementeriaan Hukum dan HAM Republik
Indonesia, bukan inisiatif dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
melainkan ada tekanan dari pihak ketiga.
“Amnesty
bagi tahanan politik bukan hati nurani dari seorang pemimpin bangsa,
namun adanya Amnesty karena ada tekanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB),” ujar Pendeta Socratez Sofyan Yoman, disela-sela penyampaian
materi dalam seminar yang diadakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sekaligus perayaan HUT AMP yang ke XV, di Wisma Parahyangan, Bandung,
Jawa Barat, Kamis (30/5) lalu.
Menurut
Yoman, meningkatnya kasus pelanggaram Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua
serta banyaknya kasus serangan kelompok militan terhadap tempat ibadah
dan penganut agama minoritas sehingga tekanan grasi atau amnesty
tersebut di keluarkan dari pihak ketiga dalam hal ini Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
“Sangat
tidak etis seorang kepala negara keluarkan pernyataan grasi atau
amnesty berdasarkan petunjuk dari pihak ketiga,” pungkasnya dalam
seminar AMP dengan tema Penentuan Nasib Sendiri Solusi Demokrastis Bagi
Rakyat Papua ini.
Lanjut
Socratez, sebelumnya presiden pernah mengeluarkan pernyataan bahwa di
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak ada yang namanya tahanan politik (Tapol) maupun narapidana politik (Napol). “Pasti
presiden kaget dengan tekanan yang datang dari pihak ketiga,”pintahnya.
Berdasarkan
data yang dihimpun, Sebanyak 76 Tahanan Politik/Narapidana Politik
(Tapol/Napol) di Lembaga Permasyarakatan (LP) Abepura, Jayapura, Papua,
menolak rencana pemberiaan amnesty atau grasi dari pemerintah Indonesia. [Ones Madai].